Pendidikan adalah pondasi utama dalam membangun masa depan sebuah bangsa. Sebagai negara dengan visi untuk terus maju, Indonesia telah menghadirkan Kurikulum Merdeka sebagai langkah signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang sesuai dengan standar global. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi kurikulum ini masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diselesaikan bersama.
Kurikulum Merdeka dirancang untuk memberikan fleksibilitas kepada siswa dalam memilih cara belajar yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Dengan pendekatan berbasis proyek (project-based learning), siswa didorong untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif—keterampilan yang sangat relevan di era globalisasi. Kurikulum ini juga menekankan pembelajaran yang lebih kontekstual dan menyenangkan, sehingga diharapkan dapat membangun minat belajar yang kuat.
Namun, keunggulan ini sering kali tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena berbagai faktor, terutama ketidaksiapan tenaga pendidik dan institusi untuk menjalankan kurikulum sesuai arahan pemerintah.
Dalam praktiknya, tidak semua sekolah menjalankan Kurikulum Merdeka. Sebagian institusi memilih menggunakan kurikulum internal yang dianggap lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Fenomena ini dapat ditemukan di beberapa sekolah, di mana kepala sekolah dan guru menolak untuk mengikuti pedoman pemerintah dan merasa bangga dengan hasil yang mereka capai menggunakan metode mereka sendiri.
Memang benar, dalam beberapa kasus, siswa di sekolah tersebut mampu memahami materi dengan baik. Namun, ada kejanggalan yang tidak bisa diabaikan: mereka justru tertarik dengan pendekatan Kurikulum Merdeka yang lebih menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa ada potensi besar dari kurikulum ini yang sebenarnya mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi sayangnya tidak dimanfaatkan.
Di tengah berbagai tantangan ini, muncul narasi negatif yang menyalahkan Kurikulum Merdeka atas menurunnya kualitas pelajar. Padahal, masalah utama bukan pada kurikulumnya, melainkan pada implementasinya. Tanpa dukungan dan keseriusan dari semua pihak—terutama guru, kepala sekolah, dan masyarakat luas—kurikulum terbaik sekalipun tidak akan efektif.
Sebagai penggerak utama pendidikan, guru memegang peran vital dalam menyukseskan Kurikulum Merdeka. Namun, jika mereka enggan atau bahkan menolak mengikuti pedoman yang telah ditetapkan, hasil pembelajaran tentu tidak akan optimal. Di sisi lain, masyarakat juga perlu memahami bahwa kurikulum hanyalah alat; keberhasilan pendidikan ditentukan oleh cara alat tersebut digunakan.
Agar Kurikulum Merdeka dapat berjalan sesuai harapan, diperlukan langkah-langkah berikut:
Peningkatan Kompetensi Guru
Pelatihan dan pendampingan intensif harus diberikan kepada guru agar mereka memahami dan mampu mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dengan baik.
Sosialisasi yang Komprehensif
Pemerintah dan instansi terkait perlu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang tujuan dan manfaat Kurikulum Merdeka, sehingga narasi negatif dapat diminimalisir.
Evaluasi dan Pendampingan Sekolah
Sekolah yang masih menggunakan kurikulum internal perlu diberikan evaluasi dan pendampingan agar mereka dapat beradaptasi dengan Kurikulum Merdeka tanpa merasa kehilangan identitas mereka.
Kerjasama Semua Pihak
Implementasi kurikulum yang efektif membutuhkan sinergi antara pemerintah, sekolah, guru, siswa, dan masyarakat. Semua pihak harus memiliki visi yang sama untuk mendukung pendidikan yang lebih baik.
Kurikulum Merdeka adalah langkah maju yang sejalan dengan perkembangan pendidikan internasional. Namun, keberhasilannya bergantung pada komitmen semua pihak untuk menjalankan kurikulum ini dengan sungguh-sungguh. Alih-alih menyalahkan kurikulum, kita perlu mendorong guru dan institusi untuk lebih terbuka terhadap perubahan, serta mengedukasi masyarakat bahwa tanggung jawab pendidikan adalah tugas bersama. Dengan begitu, potensi Kurikulum Merdeka untuk menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan berdaya saing tinggi dapat benar-benar terwujud.